NAGEKEO - Jarang orang menelisik lebih jauh tentang sebab-sebab kemiskinan di NTT termasuk di Nagekeo. Seperti halnya, melakukan penelitian atau studi khusus tentang sebab musabab kemiskinan yang terjadi di NTT.
Apakah adat istiadat termasuk salah satu yang memberikan kontribusi kemiskinan masyarakat NTT termasuk di Nagekeo?
Menurut data BPS dalam laman NTT. bps.go.id dapat kita temui informasi tentang kemiskinan di NTT sebagai berikut:
* Persentase penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 20, 90 persen meningkat 0, 28 persen poin terhadap September 2019 dan menurun 0, 19 persen poin terhadap Maret 2019.
* Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 1.153, 76 ribu orang meningkat 24, 3 ribu orang terhadap September 2019 dan meningkat 7, 44 ribu orang terhadap Maret 2019.
* Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2019 sebesar 8, 34 persen, naik menjadi 8, 64 persen pada Maret 2020. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2019 sebesar 24, 45 persen, naik menjadi 24, 73 persen pada Maret 2020.
* Dibanding September 2019, jumlah penduduk miskin Maret 2020 didaerah perkotaan naik sekitar 4, 8 ribu orang (dari 108, 62 ribu orang padaSeptember 2019 menjadi 113, 39 ribu orang pada Maret 2020). Sementara itu daerah perdesaan naik sekitar 19, 5 ribu orang (dari 1.020, 84 ribu orang pada September 2019 menjadi 1.040, 37 ribu orang pada Maret 2020).
* Garis kemiskinan pada Maret 2020 tercatat sebesar Rp 403.005, -/kapita/bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp 316.130, -/kapita/bulan (78, 44 persen) dan garis kemiskinan bukanmakanan sebesar Rp 86.875, -/kapita/bulan (21, 56 persen).
* Secara rata-rata, rumah tangga miskin di Provinsi NTT pada Maret 2020 memiliki 5, 82 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya garis kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp 2.345.489, -/rumah tangga miskin/bulan
Dari data-data diatas terlihat jelas terjadi peningkatan penduduk miskin di NTT. Apa saja penyebabnya? Banyak ! salah satunya yang bisa dijelaskan dengan mudah adalah adanya pandemi covid-19 yang merontokan sendi-sendi ekonomi.
Apakah hanya karena covid-19? Tentu tidak. Salah satu yang menarik perhatian adalah beban adat istiadat. lalu, berbicara tentang ini pasti banyak pro dan kontra serta banyak kalangan menyatakan bahwa, untuk memastikan hasil survey sepenuhnya bukan menjadi jaminan dan tidak sepenuhnya dinyatakan sebagai realita beban adat istiadat dalam korelasinya dengan kemiskinan di NTT.
Menggugat Adat Istiadat
Banyak kalangan berasumsi bahwa kemiskinan di NTT termasuk di Nagekeo salah satu sebabnya adalah beban adat istiadat dan dapat di ambil dua contoh saja yakni adat perkawinan (belis) dan kematian. Tentu masih banyak adat lainnya yang juga membebani.
Dalam adat perkawinan misalnya pihak laki-laki harus bawah kerbau, sapi, kuda, kambing, domba dan lain-lain dalam jumlah tertentu, sementara pihak perempuan harus menyiapkan sejumlah babi besar, kain adat, tikar, beras dan lain-lain.
Untuk menjaga waka ( gensi/nama) kedua bela pihak berjuang untuk memenuhinya meski harus utang sana sini.
Dalam adat kematian juga sama, pihak keluarga harus menyiapkan kerbau, sapi atau kuda untuk embu mame (om) sebagai kulu tuu komba foa dan dhoi poi deko bheka dalam adat Nagaroro dan sekitarnya. Untuk mata adat ini bisa pakai uang.
Ketika hajatan seperti ini terjadi sering kita dengar keluhan bahwa adat sangat membebani. Mereka harus utang dan mencari kesana kemari. Tapi karena tuntutan adat dan menjaga waka keluarga biar utang (berat/beban) mereka siap memikulnya. Apalagi dalam adat kematian yang sifatnya tiba-tiba dan atau sakit berkepanjangan yang membutuhkan biasa yang banyak.
Berkaca pada dua jenis adat diatas, secara sadar atau tidak pasti membebankan. Bicara jujur pasti banyak yang mengatakan itu sangat membebankan. Tapi anehnya beban adat ini terus dipikul kendati kita sadar ini sangat memberatkan. Kadang demi adat istiadat biaya pendidikan anak-anak diabaikan.
Kalau demikian yang terjadi, seharusnya kita menggugat beban adat istiadat ini.
Reformasi Adat Istiadat
Beban adat istiadat ini secara langsung atau tidak mempengaruhi ekonomi keuarga. Demi adat istiadat, harus rela berutang. Pendidikan anak-anak kita abaikan.
Kita tidak mengatakan adat itu buruk atau tidak baik. Nenek moyang kita membuat adat istiadat ini dengan latar kehidupan mereka kala itu. Sebagai contoh mereka dulu punya kandang ternak baik itu kerbau, sapi, kuda dan kambing. Sekarang? Kandang saja tidak ada.
Kalau demikian mungkin sudah saatnya kita lakukan reformasi adat. Kita perbaharui adat istiadat ini dengan latar kehidupan kita sekarang ini.
Adat istiadat penting dan harus dijaga. Tapi penerapanya perlu direformasi. Adat hendaknya tidak menjadi beban dan apalagi memiskinkan kita.
Apakah adat harus digugat atau direfirmasi? Mari kembali ke kita semua sebagai pelaku adat dalam komunitas adat atau budaya.